Jakarta - Perkembangan teknologi informasi membuat orang bisa dengan mudah mendapatkan informasi apapun di jagat maya. Meski produk hukum -- dalam hal ini UU ITE -- sudah ada, namun dibutuhkan satu komponen lagi yakni etika cyber.
Demikian diungkapkan oleh anggota Badan Regulasi Teknologi Indonesia (BRTI) Danrivanto Budhijanto dalam diskusi 'Etika Cyber dalam Masyarakat Indonesia' yang diselenggarakan oleh Divisi Pengkajian dan Penerbitan YPM Salman ITB di ruang utama Masjid Salman ITB.
Etika cyber dirasa sudah sangat dibutuhkan, kata Danrivanto, lantaran karakteristik masyarakat Indonesia yang komunal.
"Komunal dalam konteks ini bermakna bahwa masyarakat Indonesia kebanyakan terpengaruhi dengan tren yang sedang mewabah di masyarakat," tukas pria yang juga dosen Hukum TI Unpad tersebut.
Hal ini berbeda dengan karakteristik negara maju yang cenderung individualis. Yaitu karakteristik yang lebih mengedepankan cara berpikir pribadi dibanding dengan apa yang dipikirkan kebanyakan orang di komunitasnya.
Senada dengannya, Ikhlasul Amal, seorang blogger dan pengamat sosial media di Bandung juga melihat adanya perubahan perilaku sosial di masyarakat Indonesia.
"Perubahan cara berkomunikasi ini merubah perilaku sosial masyarakat informasi di Indonesia. Ranah jejaring sosial yang merupakan ranah publik tanpa disadari dianggap sebagai ranah pribadi," katanya.
Hal seperti ini menyebabkan tak jarang pengguna mengunggah tulisan dan media yang bersifat pribadi. "Dampaknya, publik dapat melihat berbagai postingan tersebut secara bebas. Tak jarang membuat konflik baru dalam masyarakat," tutur Amal.
Kasus penghinaan bernada rasis yang dilakukan mahasiswa ITB dalam statusnya di Facebook beberapa waktu yang lalu, menurut Amal, merupakan salah satu contoh nyata.
"Perlu etika cyber agar masalah ini tidak terulang di masa yang akan datang," ia menandaskan.
Demikian diungkapkan oleh anggota Badan Regulasi Teknologi Indonesia (BRTI) Danrivanto Budhijanto dalam diskusi 'Etika Cyber dalam Masyarakat Indonesia' yang diselenggarakan oleh Divisi Pengkajian dan Penerbitan YPM Salman ITB di ruang utama Masjid Salman ITB.
Etika cyber dirasa sudah sangat dibutuhkan, kata Danrivanto, lantaran karakteristik masyarakat Indonesia yang komunal.
"Komunal dalam konteks ini bermakna bahwa masyarakat Indonesia kebanyakan terpengaruhi dengan tren yang sedang mewabah di masyarakat," tukas pria yang juga dosen Hukum TI Unpad tersebut.
Hal ini berbeda dengan karakteristik negara maju yang cenderung individualis. Yaitu karakteristik yang lebih mengedepankan cara berpikir pribadi dibanding dengan apa yang dipikirkan kebanyakan orang di komunitasnya.
Senada dengannya, Ikhlasul Amal, seorang blogger dan pengamat sosial media di Bandung juga melihat adanya perubahan perilaku sosial di masyarakat Indonesia.
"Perubahan cara berkomunikasi ini merubah perilaku sosial masyarakat informasi di Indonesia. Ranah jejaring sosial yang merupakan ranah publik tanpa disadari dianggap sebagai ranah pribadi," katanya.
Hal seperti ini menyebabkan tak jarang pengguna mengunggah tulisan dan media yang bersifat pribadi. "Dampaknya, publik dapat melihat berbagai postingan tersebut secara bebas. Tak jarang membuat konflik baru dalam masyarakat," tutur Amal.
Kasus penghinaan bernada rasis yang dilakukan mahasiswa ITB dalam statusnya di Facebook beberapa waktu yang lalu, menurut Amal, merupakan salah satu contoh nyata.
"Perlu etika cyber agar masalah ini tidak terulang di masa yang akan datang," ia menandaskan.
(detikInet.com)
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar